Metodologi
Penelitian Kulitatif fenomenologi
Dunia pendidikan suatu penelitian sangat
diperlukan karena dengan kita sebagai penerus bangsa harus mengetahui secara
pasti kebenaran dari pendidikan dan ilmu pengetahuan agar tidak terjadi
kesalahan dan kesimpangsiuran terhadap peserta didik. Penelitian merupakan
suatu usaha menghubungkan kenyataan empirik dengan teori apabila teori sudah
ada. Karena dalam dunia penelitian dikenal dengan penelitian kuantitaif dan penelitian kulitatif menurut Burhanuddin (2013).
penelitian kuantitatif adalah penelitian yang dimaksud untuk mengungkapkan gejala
secara holistik-konstektual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan
memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian kuantitatif bersifat deskriptif
dan cenderung menggunakan analisis pendekatan induktif.
Penelitian Kualitatif adalah suatu penelitian
yang pada dasarnya menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Pendekatan ini
berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli, maupun pemahaman
peneliti berdasarkan pengalamannya yang kemudian dikembangkan menjadi
permasalahan-permasalahan beserta pemecahannya yang diajukan untuk memperoleh
pembenaran (verifikasi) dalam bentuk dukungan data empiris dilaporan. Pada penelitian kualitatif juga dikenal dengan
pendekatan Fenomenologi, dan pada kesempatan ini sedikit menggambarkan tentang
penelitian kualitatif menggunakan pendekatan Fenomenologi.
A. Pendekatan
Fenomenologi
Subliyanto (2010) mengatakan penelitian
fenomenologi
bersifat induktif, pendekatan yang dipakai adalah deskriptif yang dikembangkan
dari filsafat fenomenologi. Fokus filsafat fenomenologi adalah pemahaman
tentang respon atas kehadiran atau kebaradaan manusia, bukan sekedar pemahaman
atas bagian-bagian yang spesifik atau prilaku khusus. Tujuan penelitian
fenomenologikal adalah menjelaskan pengalaman-pengalaman apa yang dialami
seseorang dalam kehidupan ini, termasuk interaksinya dengan orang lain. Contoh
penelitian fenomenologi atau study
mengenai daur hidup masyarakat tradisional dilihat dari perspektif kebiasaan
hidup sehat. Istilah
fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Fenomena
berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak,
dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya
sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena
bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan
sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. M. Syahran Jailani (2013) Pada hakikatnya
penelitian kualitatif menggunakan pendekatan secara fenomenologi. Artinya
Peneliti berangkat kelapangan dengan mengamati fenomena yang terjadi di lapangan
secara alamiah. Namun nanti yang akan membedakan masing-masing jenis penelitian
itulah fokus penelitian. Apakah penelitian itu fokus kebudaya, fenomena, kasus
dan sebagainya. Penelitian fenomena ini pertama dikemukakan oleh Edmund Hursserl
(1859-1938) seorang filsuf Jerman. Pada mulanya penelitian ini bermula dari
penelitian sosial. Ada beberapa pengertian tentang fenomenologi menurut
Hursserl diantaranya yaitu: (a) pengalaman subjektif atau fenomenologikal, (b)
suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Hal ini dapat
dipahami bahwa penelitian fenomenologi merupakan pandangan berfikir yang
menekankan pada pengalaman-pengalaman manusia dan bagaimana manusia
menginterpretasikan pengalamannya. Ditinjau dari hakekat pengalaman manusia. Perkembangan fenomenologi dapat
dicirikan oleh cakupan bidang yang luas, dengan muatan isu yang bersifat
multi-disiplin. Pada awal perkembangannya menurut Agus Salim (2006)
fenomenologi memiliki ciri-ciri yaitu descriptive
phenomenology, yakni pembuktian secara deskriptif atau dua bentuk temuan: permasalahan dan objek sebagai permasalahan. Pembagian
ini tampaknya cukup berpengaruh kemudian, yakni pada terbentuknya empat
percabangan besar yang dikenal dalam fenomenologi.
1. Realistic
Phenomenology
Percabangan ini menekankan pada
pencarian persoalan universal manusia ditinjau dari berbagai objek yang
meliputi, tindakan, motif tindakan, serta nilai kepribadian.
2. Constitutive
Phenomenology
Gambaran tentang cabang ini adalah
seperti pendapat Husserl yang kemudian dikembangkan oleh Oskar Becker, Aron
Gurwitsch dan Elizabeth Stoker yaitu refleksi tentang metode transcendental phenomenological epoche,
dan penyederhanaannya. Prosedur ini meliputi keraguan terhadap penerimaan
status kehidupan kesadaran sebagai hal yang ada di dunia dan juga adanya
keraguan sebagaimana ditunjukkan dalam pemahaman intersubjektif untuk dunia dan
untuk menempatkan constitutive phenomenology dalam tradisi modern yang kembali
pada pemikiran Immanuel Kant dan juga mencirikan hasil pemikiran Husserl. Selain
hal itu, fenomenologi yang dikembangkan di Amerika oleh Alferd Schultz (tokoh
kunci perkembangan fenomenologi dan penerapannya di bidanga sosiologi di
Amerika), masyarakat membentuk dunianya sendiri melalui kesadaran constitutive maupun kesadaran reconstitutive yang melakukan tindakan
apa adanya (taken for granted). Dalam
kaitan itu Schutz menyarankan hendaknya penelitian sosial lebih memfokuskan
pada dunia kehidupan sehari-hari. Realitas
berada dalam kegiatan intersubjektive sehingga ciptaan dari pikiran selalu
berada dalam proses interaksi para aktor yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari
menurut Agus Salim dalam George Ritzer, 1981 : 166. Di sisi lain, Ritzer
menyadari bahwa walaupun masyarakat mempunyai seperangkat pengetahuan tentang
dunianya namun stock of knowledge
tersebut ternyata juga tidak sempurna dalam menginterpretasikan objek tersebut.
Stock of knowledge itu sendiri
terdiri atas akal sehat dan kategori dimana asal dunia sosial itu.
3. Existential Phenomenology
Perkembangan percabangan ini bermula
dari pemikiran Martin Heidegger yang menggunakan kehidupan manusia sebagai cara
dalam ontologi fundamental yang bergerak melampaui ontologi regional yang
disampaikan oleh Husserl. Setelah Martin Heidegger, Hannah Arendt menjadi orang
pertama yang menggunakan fenomenologi eksistensial dengan kecenderungan
pemikirannya pada topik-topik seperti tindak kekerasan, kekuasaan, dan
kematian. Di samping Arendt, masih banyak tokoh yang mengembangkan fenomenologi
eksistensial seperti dalam isu gender, hari tua, kebebasan, dan kesusasteraan.
4. Hermeunitical Phenomenology
Membedakan fenomenologi hermeunitik
adalah pada metode interpretasi. Fenomenologi hermeunitik berkembang lebih
mendunia dengan isu pemikiran ke arah antropologi, filsafat, ekologi, gender,
etnisitas, agama, dan teknologi. Perkembangan tersebu tjuga mencakup perhatian
pada estetika, etika, filsafat manusia, politik.
B. Ciri-ciri pokok peneliti
fenomenologi menurut M.Syahran Jailani dalam Moleong( 2007:8) yaitu:
1. mengacu kepada kenyataan, dalam hal
ini kesadaran tentang
sesuatu benda secara jelas
2. memahami arti peristiwa dan kaitan-
kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi
–situasi
tertentu.
3. memulai dengan diam.
C. Kekuatan
dan Kelemhan fenomenologi menurut
Derichard H. Putra (2012).
1. Kekuatan fenomenologi
Kekuatan
fenomenologi adalah dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan
tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang didapat
sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu
pengetahuan harus buang dulu, ini dimaksudkan agar hasil dalam mengungkap
pengetahuan atau kebenaran benar-benar objektif.
Kekuatan
lainnya, fenomenologi memandang objek kajian sebagai satu kesatuan yang utuh,
tidak terpisah dari objek lainnya, dengan demikian fenomenologi menuntut
pendekatan holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman
yang utuh mengenai objek yang diamati.
2. Kelemahan fenomenoogis
fenomenologi
juga tidak lepas dari kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah tujuan dari
fenomenologi itu sendiri. Fenomenologi bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan
yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari
adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd. Sebab
fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas
nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini
dipertegas oleh Derrida yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak
mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi
menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya
mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status
seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan
penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Kelemahan
lainnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat
dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati
kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang
dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi
dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain,
pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisas
Rujukan
Agus
Salim. 2006. Teori dan Paradigma
Penelitian Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana.
Burhanuddin.
2013.
Perbedaan Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif
Derichard H.
Putra. 2012. Fenomenologi dan
Hermeneutika: Sebuah Perbandingan.
M. Syahran Jailani. 2013. Ragam Penelitian Qualitative (Ethnografi, Fenomenologi, Grounded
Theory,danStudi Kasus).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar