Minggu, 31 Mei 2015

Metodologi Penelitian Kualitatif, Fenomenologi

Metodologi Penelitian Kulitatif fenomenologi
Dunia pendidikan suatu penelitian sangat diperlukan karena dengan kita sebagai penerus bangsa harus mengetahui secara pasti kebenaran dari pendidikan dan ilmu pengetahuan agar tidak terjadi kesalahan dan kesimpangsiuran terhadap peserta didik. Penelitian merupakan suatu usaha menghubungkan kenyataan empirik dengan teori apabila teori sudah ada. Karena dalam dunia penelitian dikenal dengan  penelitian kuantitaif dan penelitian kulitatif menurut Burhanuddin (2013).
penelitian kuantitatif adalah penelitian yang dimaksud untuk mengungkapkan gejala secara holistik-konstektual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci.  Penelitian kuantitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis pendekatan induktif.
Penelitian Kualitatif adalah suatu penelitian yang pada dasarnya menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Pendekatan ini berangkat dari suatu kerangka teori, gagasan para ahli, maupun pemahaman peneliti berdasarkan pengalamannya yang kemudian dikembangkan menjadi permasalahan-permasalahan beserta pemecahannya yang diajukan untuk memperoleh pembenaran (verifikasi) dalam bentuk dukungan data empiris dilaporan. Pada penelitian kualitatif juga dikenal dengan pendekatan Fenomenologi, dan pada kesempatan ini sedikit menggambarkan tentang penelitian kualitatif menggunakan pendekatan Fenomenologi.

A.  Pendekatan Fenomenologi
Subliyanto (2010) mengatakan penelitian fenomenologi bersifat induktif, pendekatan yang dipakai adalah deskriptif yang dikembangkan dari filsafat fenomenologi. Fokus filsafat fenomenologi adalah pemahaman tentang respon atas kehadiran atau kebaradaan manusia, bukan sekedar pemahaman atas bagian-bagian yang spesifik atau prilaku khusus. Tujuan penelitian fenomenologikal adalah menjelaskan pengalaman-pengalaman apa yang dialami seseorang dalam kehidupan ini, termasuk interaksinya dengan orang lain. Contoh penelitian fenomenologi atau study mengenai daur hidup masyarakat tradisional dilihat dari perspektif kebiasaan hidup sehat. Istilah fenomenologi secara etimologis berasal dari kata fenomena dan logos. Fenomena berasal dari kata kerja Yunani “phainesthai” yang berarti menampak, dan terbentuk dari akar kata fantasi, fantom, dan fosfor yang artinya sinar atau cahaya. Dari kata itu terbentuk kata kerja, tampak, terlihat karena bercahaya. Dalam bahasa kita berarti cahaya. Secara harfiah fenomena diartikan sebagai gejala atau sesuatu yang menampakkan. M. Syahran Jailani (2013) Pada hakikatnya penelitian kualitatif menggunakan pendekatan secara fenomenologi. Artinya Peneliti berangkat kelapangan dengan mengamati fenomena yang terjadi di lapangan secara alamiah. Namun nanti yang akan membedakan masing-masing jenis penelitian itulah fokus penelitian. Apakah penelitian itu fokus kebudaya, fenomena, kasus dan sebagainya. Penelitian fenomena ini pertama dikemukakan oleh Edmund Hursserl (1859-1938) seorang filsuf Jerman. Pada mulanya penelitian ini bermula dari penelitian sosial. Ada beberapa pengertian tentang fenomenologi menurut Hursserl diantaranya yaitu: (a) pengalaman subjektif atau fenomenologikal, (b) suatu studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang. Hal ini dapat dipahami bahwa penelitian fenomenologi merupakan pandangan berfikir yang menekankan pada pengalaman-pengalaman manusia dan bagaimana manusia menginterpretasikan pengalamannya. Ditinjau dari hakekat pengalaman manusia. Perkembangan fenomenologi dapat dicirikan oleh cakupan bidang yang luas, dengan muatan isu yang bersifat multi-disiplin. Pada awal perkembangannya menurut Agus Salim (2006) fenomenologi memiliki ciri-ciri yaitu  descriptive phenomenology, yakni pembuktian secara deskriptif atau dua bentuk temuan: permasalahan dan objek sebagai permasalahan. Pembagian ini tampaknya cukup berpengaruh kemudian, yakni pada terbentuknya empat percabangan besar yang dikenal dalam fenomenologi.


1.       Realistic Phenomenology
Percabangan ini menekankan pada pencarian persoalan universal manusia ditinjau dari berbagai objek yang meliputi, tindakan, motif tindakan, serta nilai kepribadian. 
2.       Constitutive Phenomenology
Gambaran tentang cabang ini adalah seperti pendapat Husserl yang kemudian dikembangkan oleh Oskar Becker, Aron Gurwitsch dan Elizabeth Stoker yaitu refleksi tentang metode transcendental phenomenological epoche, dan penyederhanaannya. Prosedur ini meliputi keraguan terhadap penerimaan status kehidupan kesadaran sebagai hal yang ada di dunia dan juga adanya keraguan sebagaimana ditunjukkan dalam pemahaman intersubjektif untuk dunia dan untuk menempatkan constitutive phenomenology dalam tradisi modern yang kembali pada pemikiran Immanuel Kant dan juga mencirikan hasil pemikiran Husserl. Selain hal itu, fenomenologi yang dikembangkan di Amerika oleh Alferd Schultz (tokoh kunci perkembangan fenomenologi dan penerapannya di bidanga sosiologi di Amerika), masyarakat membentuk dunianya sendiri melalui kesadaran constitutive maupun kesadaran reconstitutive yang melakukan tindakan apa adanya (taken for granted). Dalam kaitan itu Schutz menyarankan hendaknya penelitian sosial lebih memfokuskan pada dunia kehidupan sehari-hari.  Realitas berada dalam kegiatan intersubjektive sehingga ciptaan dari pikiran selalu berada dalam proses interaksi para aktor yang terlibat dalam kehidupan sehari-hari menurut Agus Salim dalam George Ritzer, 1981 : 166. Di sisi lain, Ritzer menyadari bahwa walaupun masyarakat mempunyai seperangkat pengetahuan tentang dunianya namun stock of knowledge tersebut ternyata juga tidak sempurna dalam menginterpretasikan objek tersebut. Stock of knowledge itu sendiri terdiri atas akal sehat dan kategori dimana asal dunia sosial itu.

3.      Existential Phenomenology
Perkembangan percabangan ini bermula dari pemikiran Martin Heidegger yang menggunakan kehidupan manusia sebagai cara dalam ontologi fundamental yang bergerak melampaui ontologi regional yang disampaikan oleh Husserl. Setelah Martin Heidegger, Hannah Arendt menjadi orang pertama yang menggunakan fenomenologi eksistensial dengan kecenderungan pemikirannya pada topik-topik seperti tindak kekerasan, kekuasaan, dan kematian. Di samping Arendt, masih banyak tokoh yang mengembangkan fenomenologi eksistensial seperti dalam isu gender, hari tua, kebebasan, dan kesusasteraan.
4.      Hermeunitical Phenomenology
Membedakan fenomenologi hermeunitik adalah pada metode interpretasi. Fenomenologi hermeunitik berkembang lebih mendunia dengan isu pemikiran ke arah antropologi, filsafat, ekologi, gender, etnisitas, agama, dan teknologi. Perkembangan tersebu tjuga mencakup perhatian pada estetika, etika, filsafat manusia, politik.

B.  Ciri-ciri pokok peneliti fenomenologi menurut M.Syahran Jailani dalam Moleong( 2007:8) yaitu:

1.    mengacu kepada kenyataan, dalam hal ini kesadaran tentang
sesuatu benda secara jelas
2.    memahami arti peristiwa dan kaitan-
kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi –situasi
tertentu.
3.   memulai dengan diam.

C.  Kekuatan dan Kelemhan fenomenologi menurut Derichard H. Putra (2012).
1.      Kekuatan fenomenologi
Kekuatan fenomenologi adalah dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang didapat sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan harus buang dulu,  ini dimaksudkan agar hasil dalam mengungkap pengetahuan atau kebenaran benar-benar objektif.
Kekuatan lainnya, fenomenologi memandang objek kajian sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya, dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
2.      Kelemahan fenomenoogis
fenomenologi juga tidak lepas dari kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah tujuan dari fenomenologi itu sendiri. Fenomenologi bertujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.
Kelemahan lainnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisas

Rujukan

Agus Salim. 2006. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana.

Burhanuddin. 2013. Perbedaan Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif

Derichard H. Putra. 2012. Fenomenologi dan Hermeneutika: Sebuah Perbandingan.


M. Syahran Jailani.  2013. Ragam Penelitian Qualitative (Ethnografi, Fenomenologi, Grounded Theory,danStudi Kasus).

Subliyanto  2010. Macam-Macam Metode Penelitian Kualitatif



 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar